Jumat, 03 April 2015

Senin, 16 Maret 2015

Uhibbuk fillah

Ditulis Oleh : Buletin Riyaadul Jannah diterbitkan oleh UGT 2014-2015 PPI 73.


Assalamu’alaikum.? Kaifa haluk? Semoga kalian ada dalam lindungan alloh . amin J alhamdulillah kami segenap tim redaksi bisa menerbitkan buletin pertama (perdana) kami, semoga bermanfaat yaa J ..

  Hmm ..kalian pasti sudah tahu dong apa yang akan kami bahas pada kali ini . eitts tapi tenang dulu kali ini kita bukan ngebahas tentang cinta kepada sesama makhluk hidup yaa .. bukan cinta yang kalau dia gak ngsms jadi galau. Bahakan sampai di bikin status di media sosial . ayo loh ngaku siapa yang sering galau krna seseorang? =D . galau itu bukan karna orang yang kita sukai malah menyukai orang lain atau pun orang yang kita harapkan malah menjauh.
Tetapi galau lah (bersedihlah) ketika kita melakukan apa yang dilarang allah . galau lah ketika kita berpaling dari allah hanya krna sesuatu. Seperti firman Allah SWT dalam al-qur’an surat alI - imran :
قل إن كنتم تحبون الله فا تبعوني يحببكم الله ويغفرلكم ذنوبكم والله غفوررحيم (31) قل اطيعوا الله والرسول فإن تولوا فإن الله لا يحب الكفرين (32)
artinya: ” katakanlah (muhammad ) “jika kamu mencintai allah , ikutilah aku, niscaya allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.”allah maha pengampun maha penyayang (31)katakanlah (muhammad) “taatilah allah dan rasul . jikakamu berpaling, ketahuilah bahwa allah tidak menyukai orang-orang yang kafir . “ (QS:al-imran 31-32)
  
   Nahh.. dari ayat diatas sudah jelas kan kalau kita ingin dicintai allah maka ikutilah perintah-perintahnya dan jauhilah larangan-larangannya, taatilah allah dan rasulnya dan janganlah berpaling darinya. Niscaya allah akan mencintai kita . dan jika kita berpaling darinya berarti kita termasuk orang-orang yang kafir sedangkan sudah jelas dari ayat diatas tertera bahwa “ allah tidak menyukai orang-orang yang kafir. “ kita pasti tidak mau kan tergolong orang-orang yang kafir .? oleh krna itu, taatilah rasul , jalankan perintahnya dan jauhilah larangannya .
   Bagi orang yang telah jatuh cinta kepada allah SWT , maka ia lebih suka berbicara dengan Allah SWT , dengan membaca firmannya , dan lebih suka mengikuti perintah Allah SWT dari pada perintah yang lain. Dalam al-qur’an cinta memiliki beberapa pengertian . tapi kita gak akan membahas semuanya yaa ...
Berikut pengertiannya :
1.cinta rahmah
    Cinta rahmah adalah jenis cinta yang penuh kasih sayang lembut, siap berkorban, dan siap melindungi . orang yang memiliki cinta jenis rahmah ini lebih memperhatikan orang yang di cintainya dibanding terhadap diri sendiri. Terutama cinta orang tua terhadap anaknya .
2.cinta ra’fah
   Cinta ra’fah adalah rasa kasih yang dalam hingga mengalahkan norma-norma kebenaran . misalnya kasihan kpd anak sehingga tidak tega membangunkannya untuk sholat, membelanya meskipun salah , al-qur’an menyebut term ini ketika mengingatkan agar jangan cinta ra’fah menyebabkan orang tidak menegakkan hukum allah .
3.cinta kulfah
   Cinta kulfah adalah perasaan cinta yang di sertai kesadaraan mendidik kpd hal-hal yang positif meski sulit,seperti orang tua yang menyuruh anak nya menyapu,membersihkan kamar sendiri,meski ada pembantu..
Kajian Hadits :
Manisnya Iman
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ الثَّقَفِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ :ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا ، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna berkata, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab Ats Tsaqafi berkata, telah menceritakan kepada kami Ayyub dari Abu Qilabah dari Anas bin Malik dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: “Ada tiga perkara, yang barangsiapa perkara-perkara tersebut terdapat padanya, maka dia akan merasakan kelezatan iman, (yaitu) hendaknya Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai dari selain keduanya, hendaknya dia cinta kepada seseorang, tidaklah dia mencintainya kecuali karena Allah dan hendaknya dia benci untuk kembali kepada kekafiran sebagaimana dia benci untuk dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Bukhori, Muslim, Ahmad, An-Nasa’I, Ibnu Majah, at-Tirmidzi, Redaksi hadits di atas adalah redaksi HR. Bukhori)

Kamis, 12 Maret 2015

Membongkar kesesatan Syiah : Rangkuman

Serupa tapi tak sama. Barangkali ungkapan ini tepat untuk menggambarkan Islam dan kelompok Syi’ah. Secara fisik, memang sulit dibedakan antara penganut Islam dengan Syi’ah. Namun jika ditelusuri -terutama dari sisi aqidah- perbedaan di antara keduanya ibarat minyak dan air. Sehingga, tidak mungkin disatukan. Apa Itu Syi’ah? Syi’ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna: pembela dan pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna: Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara. (Tahdzibul Lughah, 3/61, karya Azhari dan Tajul Arus, 5/405, karya Az-Zabidi. Dinukil dari kitab Firaq Mu’ashirah, 1/31, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Al-Awaji) Adapun menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib lebih utama dari seluruh shahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau. (Al-Fishal Fil Milali Wal Ahwa Wan Nihal, 2/113, karya Ibnu Hazm) Syi’ah, dalam sejarahnya mengalami beberapa pergeseran. Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok ini terpecah menjadi lima sekte yaitu Kaisaniyyah, Imamiyyah (Rafidhah), Zaidiyyah, Ghulat, dan Isma’iliyyah. Dari kelimanya, lahir sekian banyak cabang-cabangnya. (Al-Milal Wan Nihal, hal. 147, karya Asy-Syihristani) Dan tampaknya yang terpenting untuk diangkat pada edisi kali ini adalah sekte Imamiyyah atau Rafidhah, yang sejak dahulu hingga kini berjuang keras untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin. Dengan segala cara, kelompok sempalan ini terus menerus menebarkan berbagai macam kesesatannya. Terlebih lagi kini didukung dengan negara Iran-nya. Rafidhah , diambil dari yang menurut etimologi bahasa Arab bermakna , meninggalkan (Al-Qamus Al-Muhith, hal. 829). Sedangkan dalam terminologi syariat bermakna: Mereka yang menolak imamah (kepemimpinan) Abu Bakr dan ‘Umar radiyallahu ‘anhum, berlepas diri dari keduanya, dan mencela lagi menghina para shahabat Nabi radiyallahu ‘anhu. (Badzlul Majhud fi Itsbati Musyabahatir Rafidhati lil Yahud, 1/85, karya Abdullah Al-Jumaili) Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata: “Aku telah bertanya kepada ayahku, siapa Rafidhah itu? Maka beliau menjawab: ‘Mereka adalah orang-orang yang mencela Abu Bakr dan ‘Umar’.” (Ash-Sharimul Maslul ‘Ala Syatimir Rasul hal. 567, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah) Sebutan “Rafidhah” ini erat kaitannya dengan Zaid bin ‘Ali bin Husain bin ‘Ali bin Abu Thalib dan para pengikutnya ketika memberontak kepada Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan di tahun 121 H. (Badzlul Majhud, 1/86) Asy-Syaikh Abul Hasan Al-Asy’ari berkata: “Zaid bin ‘Ali adalah seorang yang melebihkan ‘Ali bin Abu Thalib atas seluruh shahabat Rasulullah, mencintai Abu Bakr dan ‘Umar, dan memandang bolehnya memberontak terhadap para pemimpin yang jahat. Maka ketika ia muncul di Kufah, di tengah-tengah para pengikut yang membai’atnya, ia mendengar dari sebagian mereka celaan terhadap Abu Bakr dan ‘Umar. Ia pun mengingkarinya, hingga akhirnya mereka (para pengikutnya) meninggalkannya. Maka ia katakan kepada mereka: “Kalian tinggalkan aku?” Maka dikatakanlah bahwa penamaan mereka dengan Rafidhah dikarenakan perkataan Zaid kepada mereka “Rafadhtumuunii.” (Maqalatul Islamiyyin, 1/137). Demikian pula yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa (13/36). Rafidhah pasti Syi’ah, sedangkan Syi’ah belum tentu Rafidhah. Karena tidak semua Syi’ah membenci Abu Bakr dan ‘Umar sebagaimana keadaan Syi’ah Zaidiyyah. Rafidhah ini terpecah menjadi beberapa cabang, namun yang lebih ditonjolkan dalam pembahasan kali ini adalah Al-Itsna ‘Asyariyyah. Siapakah Pencetusnya? Pencetus pertama bagi faham Syi’ah Rafidhah ini adalah seorang Yahudi dari negeri Yaman (Shan’a) yang bernama Abdullah bin Saba’ Al-Himyari, yang menampakkan keislaman di masa kekhalifahan ‘Utsman bin Affan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Asal Ar-Rafdh ini dari munafiqin dan zanadiqah (orang-orang yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafiran, pen). Pencetusnya adalah Abdullah bin Saba’ Az-Zindiq. Ia tampakkan sikap ekstrim di dalam memuliakan ‘Ali, dengan suatu slogan bahwa ‘Ali yang berhak menjadi imam (khalifah) dan ia adalah seorang yang ma’shum (terjaga dari segala dosa, pen).” (Majmu’ Fatawa, 4/435) Sesatkah Syi’ah Rafidhah ? Berikut ini akan dipaparkan prinsip (aqidah) mereka dari kitab-kitab mereka yang ternama, untuk kemudian para pembaca bisa menilai sejauh mana kesesatan mereka. a. Tentang Al Qur’an Di dalam kitab Al-Kaafi (yang kedudukannya di sisi mereka seperti Shahih Al-Bukhari di sisi kaum muslimin), karya Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub Al-Kulaini (2/634), dari Abu Abdullah (Ja’far Ash-Shadiq), ia berkata : “Sesungguhnya Al Qur’an yang dibawa Jibril kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam (ada) 17.000 ayat.” Di dalam Juz 1, hal 239-240, dari Abu Abdillah ia berkata: “…Sesungguhnya di sisi kami ada mushaf Fathimah ‘alaihas salam, mereka tidak tahu apa mushaf Fathimah itu. Abu Bashir berkata: ‘Apa mushaf Fathimah itu?’ Ia (Abu Abdillah) berkata: ‘Mushaf 3 kali lipat dari apa yang terdapat di dalam mushaf kalian. Demi Allah, tidak ada padanya satu huruf pun dari Al Qur’an kalian…’.” (Dinukil dari kitab Asy-Syi’ah Wal Qur’an, hal. 31-32, karya Ihsan Ilahi Dzahir). Bahkan salah seorang “ahli hadits” mereka yang bernama Husain bin Muhammad At-Taqi An-Nuri Ath-Thabrisi telah mengumpulkan sekian banyak riwayat dari para imam mereka yang ma’shum (menurut mereka), di dalam kitabnya Fashlul Khithab Fii Itsbati Tahrifi Kitabi Rabbil Arbab, yang menjelaskan bahwa Al Qur’an yang ada ini telah mengalami perubahan dan penyimpangan. b. Tentang shahabat Rasulullah Diriwayatkan oleh Imam Al-Jarh Wat Ta’dil mereka (Al-Kisysyi) di dalam kitabnya Rijalul Kisysyi (hal. 12-13) dari Abu Ja’far (Muhammad Al-Baqir) bahwa ia berkata: “Manusia (para shahabat) sepeninggal Nabi, dalam keadaan murtad kecuali tiga orang,” maka aku (rawi) berkata: “Siapa tiga orang itu?” Ia (Abu Ja’far) berkata: “Al-Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar Al-Ghifari, dan Salman Al-Farisi…” kemudian menyebutkan surat Ali Imran ayat 144. (Dinukil dari Asy-Syi’ah Al-Imamiyyah Al-Itsna ‘Asyariyyah Fi Mizanil Islam, hal. 89) Ahli hadits mereka, Muhammad bin Ya’qub Al-Kulaini berkata: “Manusia (para shahabat) sepeninggal Nabi dalam keadaan murtad kecuali tiga orang: Al-Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar Al-Ghifari, dan Salman Al-Farisi.” (Al-Kafi, 8/248, dinukil dari Asy-Syi’ah Wa Ahlil Bait, hal. 45, karya Ihsan Ilahi Dzahir) Demikian pula yang dinyatakan oleh Muhammad Baqir Al-Husaini Al-Majlisi di dalam kitabnya Hayatul Qulub, 3/640. (Lihat kitab Asy-Syi’ah Wa Ahlil Bait, hal. 46) Adapun shahabat Abu Bakr dan ‘Umar, dua manusia terbaik setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam, mereka cela dan laknat. Bahkan berlepas diri dari keduanya merupakan bagian dari prinsip agama mereka. Oleh karena itu, didapati dalam kitab bimbingan do’a mereka (Miftahul Jinan, hal. 114), wirid laknat untuk keduanya: “Ya Allah, semoga shalawat selalu tercurahkan kepada Muhammad dan keluarganya, laknatlah kedua berhala Quraisy (Abu Bakr dan Umar), setan dan thaghut keduanya, serta kedua putri mereka…(yang dimaksud dengan kedua putri mereka adalah Ummul Mukminin ‘Aisyah dan Hafshah)” (Dinukil dari kitab Al-Khuthuth Al-‘Aridhah, hal. 18, karya As-Sayyid Muhibbuddin Al-Khatib) Mereka juga berkeyakinan bahwa Abu Lu’lu’ Al-Majusi, si pembunuh Amirul Mukminin ‘Umar bin Al-Khaththab, adalah seorang pahlawan yang bergelar “Baba Syuja’uddin” (seorang pemberani dalam membela agama). Dan hari kematian ‘Umar dijadikan sebagai hari “Iedul Akbar”, hari kebanggaan, hari kemuliaan dan kesucian, hari barakah, serta hari suka ria. (Al-Khuthuth Al-‘Aridhah, hal. 18) Adapun ‘Aisyah dan para istri Rasulullah lainnya, mereka yakini sebagai pelacur -na’udzu billah min dzalik-. Sebagaimana yang terdapat dalam kitab mereka Ikhtiyar Ma’rifatir Rijal (hal. 57-60) karya Ath-Thusi, dengan menukilkan (secara dusta) perkataan shahabat Abdullah bin ‘Abbas terhadap ‘Aisyah: “Kamu tidak lain hanyalah seorang pelacur dari sembilan pelacur yang ditinggalkan oleh Rasulullah…” (Dinukil dari kitab Daf’ul Kadzibil Mubin Al-Muftara Minarrafidhati ‘ala Ummahatil Mukminin, hal. 11, karya Dr. Abdul Qadir Muhammad ‘Atha) Demikianlah, betapa keji dan kotornya mulut mereka. Oleh karena itu, Al-Imam Malik bin Anas berkata: “Mereka itu adalah suatu kaum yang berambisi untuk menghabisi Nabi namun tidak mampu. Maka akhirnya mereka cela para shahabatnya agar kemudian dikatakan bahwa ia (Nabi Muhammad) adalah seorang yang jahat, karena kalau memang ia orang shalih, niscaya para shahabatnya adalah orang-orang shalih.” (Ash-Sharimul Maslul ‘ala Syatimirrasul, hal. 580) c. Tentang Imamah (Kepemimpinan Umat) Imamah menurut mereka merupakan rukun Islam yang paling utama3. Diriwayatkan dari Al-Kulaini dalam Al-Kaafi (2/18) dari Zurarah dari Abu Ja’far, ia berkata: “Islam dibangun di atas lima perkara:… shalat, zakat, haji, shaum dan wilayah (imamah)…” Zurarah berkata: “Aku katakan, mana yang paling utama?” Ia berkata: “Yang paling utama adalah wilayah.” (Dinukil dari Badzlul Majhud, 1/174) Imamah ini (menurut mereka -red) adalah hak ‘Ali bin Abu Thalib radiyallahu ‘anhu dan keturunannya sesuai dengan nash wasiat Rasulullah. Adapun selain mereka (Ahlul Bait) yang telah memimpin kaum muslimin dari Abu Bakr, ‘Umar dan yang sesudah mereka hingga hari ini, walaupun telah berjuang untuk Islam, menyebarkan dakwah dan meninggikan kalimatullah di muka bumi, serta memperluas dunia Islam, maka sesungguhnya mereka hingga hari kiamat adalah para perampas (kekuasaan). (Lihat Al-Khuthuth Al-‘Aridhah, hal. 16-17) Mereka pun berkeyakinan bahwa para imam ini ma’shum (terjaga dari segala dosa) dan mengetahui hal-hal yang ghaib. Al-Khumaini (Khomeini) berkata: “Kami bangga bahwa para imam kami adalah para imam yang ma’shum, mulai ‘Ali bin Abu Thalib hingga Penyelamat Umat manusia Al-Imam Al-Mahdi, sang penguasa zaman -baginya dan bagi nenek moyangnya beribu-ribu penghormatan dan salam- yang dengan kehendak Allah Yang Maha Kuasa, ia hidup (pada saat ini) seraya mengawasi perkara-perkara yang ada.” (Al-Washiyyah Al-Ilahiyyah, hal. 5, dinukil dari Firaq Mu’ashirah, 1/192) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Minhajus Sunnah, benar-benar secara rinci membantah satu persatu kesesatan-kesesatan mereka, terkhusus masalah imamah yang selalu mereka tonjolkan ini. d. Tentang Taqiyyah Taqiyyah adalah berkata atau berbuat sesuatu yang berbeda dengan keyakinan, dalam rangka nifaq, dusta, dan menipu umat manusia. (Lihat Firaq Mu’ashirah, 1/195 dan Asy-Syi’ah Al-Itsna ‘Asyariyyah, hal. 80) Mereka berkeyakinan bahwa taqiyyah ini bagian dari agama. Bahkan sembilan per sepuluh agama. Al-Kulaini meriwayatkan dalam Al-Kaafi (2/175) dari Abu Abdillah, ia berkata kepada Abu Umar Al-A’jami: “Wahai Abu ‘Umar, sesungguhnya sembilan per sepuluh dari agama ini adalah taqiyyah, dan tidak ada agama bagi siapa saja yang tidak ber-taqiyyah.” (Dinukil dari Firaq Mu’ashirah, 1/196). Oleh karena itu Al-Imam Malik ketika ditanya tentang mereka beliau berkata: “Jangan kamu berbincang dengan mereka dan jangan pula meriwayatkan dari mereka, karena sungguh mereka itu selalu berdusta.” Demikian pula Al-Imam Asy-Syafi’i berkata: “Aku belum pernah tahu ada yang melebihi Rafidhah dalam persaksian palsu.” (Mizanul I’tidal, 2/27-28, karya Al-Imam Adz-Dzahabi) e. Tentang Raj’ah Raj’ah adalah keyakinan hidupnya kembali orang yang telah meninggal. ‘Ahli tafsir’ mereka, Al-Qummi ketika menafsirkan surat An-Nahl ayat 85, berkata: “Yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah raj’ah, kemudian menukil dari Husain bin ‘Ali bahwa ia berkata tentang ayat ini: ‘Nabi kalian dan Amirul Mukminin (‘Ali bin Abu Thalib) serta para imam ‘alaihimus salam akan kembali kepada kalian’.” (Dinukil dari kitab Atsarut Tasyayyu’ ‘Alar Riwayatit Tarikhiyyah, hal. 32, karya Dr. Abdul ‘Aziz Nurwali) f. Tentang Al-Bada’ Al-Bada’ adalah mengetahui sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui. Mereka berkeyakinan bahwa Al-Bada’ ini terjadi pada Allah Ta’ala. Bahkan mereka berlebihan dalam hal ini. Al-Kulaini dalam Al-Kaafi (1/111), meriwayatkan dari Abu Abdullah (ia berkata): “Tidak ada pengagungan kepada Allah yang melebihi Al-Bada’.” (Dinukil dari Firaq Mu’ashirah, 1/252). Suatu keyakinan kafir yang sebelumnya diyakini oleh Yahudi4. Demikianlah beberapa dari sekian banyak prinsip Syi’ah Rafidhah, yang darinya saja sudah sangat jelas kesesatan dan penyimpangannya. Namun sayang, tanpa rasa malu Al-Khumaini (Khomeini) berkata: “Sesungguhnya dengan penuh keberanian aku katakan bahwa jutaan masyarakat Iran di masa sekarang lebih utama dari masyarakat Hijaz (Makkah dan Madinah, pen) di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan lebih utama dari masyarakat Kufah dan Iraq di masa Amirul Mukminin (‘Ali bin Abu Thalib) dan Husein bin ‘Ali.” (Al-Washiyyah Al-Ilahiyyah, hal. 16, dinukil dari Firaq Mu’ashirah, hal. 192) Perkataan Ulama tentang Syi’ah Rafidhah Asy-Syaikh Dr. Ibrahim Ar-Ruhaili di dalam kitabnya Al-Intishar Lish Shahbi Wal Aal (hal. 100-153) menukilkan sekian banyak perkataan para ulama tentang mereka. Namun dikarenakan sangat sempitnya ruang rubrik ini, maka hanya bisa ternukil sebagiannya saja. 1. Al-Imam ‘Amir Asy-Sya’bi berkata: “Aku tidak pernah melihat kaum yang lebih dungu dari Syi’ah.” (As-Sunnah, 2/549, karya Abdullah bin Al-Imam Ahmad) 2. Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri ketika ditanya tentang seorang yang mencela Abu Bakr dan ‘Umar, beliau berkata: “Ia telah kafir kepada Allah.” Kemudian ditanya: “Apakah kita menshalatinya (bila meninggal dunia)?” Beliau berkata: “Tidak, tiada kehormatan (baginya)….” (Siyar A’lamin Nubala, 7/253) 3. Al-Imam Malik dan Al-Imam Asy-Syafi’i, telah disebut di atas. 4. Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Aku tidak melihat dia (orang yang mencela Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Aisyah) itu orang Islam.” (As-Sunnah, 1/493, karya Al-Khallal) 5. Al-Imam Al-Bukhari berkata: “Bagiku sama saja apakah aku shalat di belakang Jahmi, dan Rafidhi atau di belakang Yahudi dan Nashara (yakni sama-sama tidak boleh -red). Mereka tidak boleh diberi salam, tidak dikunjungi ketika sakit, tidak dinikahkan, tidak dijadikan saksi, dan tidak dimakan sembelihan mereka.” (Khalqu Af’alil ‘Ibad, hal. 125) 6. Al-Imam Abu Zur’ah Ar-Razi berkata: “Jika engkau melihat orang yang mencela salah satu dari shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam, maka ketahuilah bahwa ia seorang zindiq. Yang demikian itu karena Rasul bagi kita haq, dan Al Qur’an haq, dan sesungguhnya yang menyampaikan Al Qur’an dan As Sunnah adalah para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. Sungguh mereka mencela para saksi kita (para shahabat) dengan tujuan untuk meniadakan Al Qur’an dan As Sunnah. Mereka (Rafidhah) lebih pantas untuk dicela dan mereka adalah zanadiqah.” (Al-Kifayah, hal. 49, karya Al-Khathib Al-Baghdadi) Demikianlah selayang pandang tentang Syi’ah Rafidhah, mudah-mudahan bisa menjadi pelita dalam kegelapan dan embun penyejuk bagi pencari kebenaran…Amin. di sadur dari : http://salafy.or.id/blog/2005/04/04/rangkuman-syiah/

Kamis, 29 Januari 2015

SATU SHOLAT DENGAN BEBERAPA NIAT

diterjemahkan oleh :Al Ustadz Abu Utsman Kharisman
Pertanyaan: Fadhilatusy Syaikh (Ibn Utsaimin) ditanya:
Apakah boleh meniatkan lebih dari 1 ibadah pada satu ibadah. Contoh, jika seorang masuk masjid ketika adzan Dzhuhur ia sholat dua rokaat diniatkan tahiyyatul masjid, sunnah wudhu, sunnah rotibah Dzhuhur, apakah sah yang demikian?
Jawaban : Syaikh Ibn Utsaimin menjawab: Ini adalah kaidah yang penting. Yaitu: tatadaakhal al-Ibadaat (apakah suatu ibadah bisa saling masuk pada ibadah-ibadah lain). Maka kami katakan: (Pertama): Jika suatu ibadah mengikuti ibadah yang lain, maka keduanya tidak bisa saling masuk.
Ini adalah kaidah. Contoh: Sholat fajar (sholat fardlu Subuh) dua rokaat. Sunnahnya dua rokaat (sebelumnya). Ini adalah sunnah yang tersendiri. Akan tetapi ia mengikuti. Yaitu, rotibah (sunnah sebelum) Fajar sebagai penyempurna baginya. Maka tidaklah bisa sholat sunnah berkedudukan sebagai sholat Fajar (sholat Subuh wajib). Tidak pula bisa sholat Subuh berkedudukan sebagai sholat sunnah.
Karena sholat sunnah rotibah itu mengikuti sholat wajib. Jika suatu ibadah mengikuti ibadah yang lain, maka ia tidak bisa berkedudukan sebagai ibadah itu. Tidak bisa mengambil kedudukannya, baik yang mengikuti maupun yang menjadi asal. Contoh lain, Jumat memiliki sholat rotibah (sunnah) setelahnya.
Apakah seseorang mencukupkan diri untuk melakukan sholat Jumat saja hingga merasa tidak perlu sholat rotibah setelahnya?
Jawabannya adalah: Tidak. Kenapa? Karena sholat sunnah Jumat mengikuti (sholat wajib Jumat). Kedua, jika dua ibadah berdiri sendiri, tiap ibadah terpisah dari yang lain, dan ibadah itu memang dimaksudkan secara dzatnya, maka dua ibadah ini tidak bisa saling masuk.
Contoh: Jika ada yang berkata: Saya akan sholat dua rokaat sebelum Dzhuhur dengan niat 4 rokaat, karena sholat rotibah Dzhuhur sebelum sholat Dzhuhur adalah 4 rokaat dengan dua salam. Jika dia mengatakan: Saya akan sholat dua rokaat dengan niat 4 rokaat, ini tidak boleh. Karena dua ibadah ini terpisah dan berdiri sendiri. Masing-masing tidak bisa mencukupi yang lain.
Contoh lain: setelah Isya adalah sholat sunnah rotibah. Dan setelah sholat sunnah rotibah Isya ada witir. Witir boleh sholat tiga rokaat dengan dua salam. Maka ia sholat dua rokaat kemudian sholat witir. Kalau seandainya ia berkata: Saya ingin menjadikan sholat sunnah rotibah Isya untuk sholat yang genap, witir, dan rotibah Isya (digabung, pent) ? Ini tidak boleh. Ketiga, jika salah satu dari dua ibadah tidaklah dimaksudkan secara dzatnya, sedangkan maksudnya adalah mengerjakan macam ibadahnya, maka yang demikian salah satunya bisa mencukupi dari yang lain. Akan tetapi (ibadah) yang asal yang mencukupi dari cabangnya.
Contoh: Seseorang masuk masjid sebelum sholat Fajar (Subuh) dan setelah adzan. Dalam hal ini ia dituntut mengerjakan dua hal: tahiyyatul masjid (dan sholat sunnah sebelum Subuh, pent). Tahiyyatul masjid tidaklah dimaksudkan secara dzatnya. Yang dimaksudkan hanyalah agar jangan duduk hingga sholat dua rokaat. Jika engkau sholat sunnah rotibah (sebelum) Subuh, tepat engkau telah melaksanakan keadaan tidak duduk hingga sholat dua rokaat. Maka tercapailah maksud. Tapi jika engkau meniatkan cabangnya, yaitu tahiyyatul masjid bukan rotibahnya, maka ini tidak mencukupi dari rotibah sebelum Subuh. Karena rotibah Subuh itu dimaksudkan secara dzatnya, dan tahiyyatul masjid tidaklah dimaksudkan secara dzatnya.
Sedangkan pertanyaan dari penanya: Jika seorang masuk masjid saat adzan Dzhuhur dia sholat dua rokaat meniatkan tahiyyatul masjid, sunnah wudhu, dan sunnah rotibah dzhuhur? Jika dia meniatkan tahiyyatul masjid dan rotibah, ini mencukupi. Sedangkan sunnah wudhu kita lihat, apakah sabda Rasulullah shollallahu alaihi wasallam :
“Barangsiapa yang berwudhu seperti wudhu’ku ini kemudian sholat dua rokaat tidak muncul was-was dan bisikan dunia pada dirinya, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu”.
Apakah maksud Nabi shollallahu alaihi wasallam bahwa bisa didapati dua rokaat setelah wudhu, atau maksud beliau jika engkau berwudhu sholatlah dua rokaat. Kita lihat. Jika maksudnya adalah: jika engkau berwudhu maka sholatlah dua rokaat, maka dua rokaat ini dimaksudkan (secara dzatnya). Jika maksudnya adalah barangsiapa yang sholat dua rokaat setelah berwudhu dengan sifat apa saja, asalkan dua rokaat, maka dua rokaat sholat ini akan mencukupi dari sholat sunnah wudhu, tahiyyatul masjid, dan rotibah Dzhuhur.
Yang nampak pada saya, dan ilmunya di sisi Allah, bahwa sabda Rasulullah shollalahu alaihi wasallam “ kemudian sholat dua rokaat” tidaklah memaksudkan dua rokaat secara dzatnya. Beliau hanya memaksudkan bisa dilakukan dua rokaat meski itu adalah sholat wajib. Berdasarkan itu, kita katakan pada contoh yang disebutkan penanya: sesungguhnya dua rokaat tersebut mencukupi dari tahiyyatul masjid, rotibah Dzhuhur, dan sunnah wudhu’.
Contoh lainnya: Seseorang yang mandi janabah para hari Jumat, apakah mencukupi dari mandi Jumat? Jika ia berniat dengan mandi janabahnya itu mandi Jumat, maka ini akan tercapai. Berdasarkan sabda Rasulullah shollallahu alaihi wasallam: Sesungguhnya segala sesuatu tergantung apa yang dianiatkan. Akan tetapi jika ia berniat mandi janabah, apakah itu telah mencukupi dari mandi Jumat? Kita lihat: apakah mandi Jumat dimaksudkan secara dzatnya atau maksudnya adalah agar manusia bersuci di hari itu? Maksudnya adalah bersuci. Sesuai dengan sabda Rasulullah shollallahu alaihi wasallam:
“kalau seandainya kalian bersuci pada hari kalian ini”.
Karena itu, maksud mandi ini adalah agar manusia bersih pada hari Jumat. Ini bisa tercapai dengan mandi janabah. Berdasarkan hal ini, jika seseorang mandi janabah pada hari Jumat, maka itu mencukupinya dari mandi Jumat. Meskipun ia tidak berniat. Jika ia berniat, perkaranya jelas. Maka kita sekarang memiliki 3 kaidah (Majmu’ Fataawa Ibn Utsaimin (14/205)).

http://salafy.or.id/blog/2015/01/24/fatwa-syaikh-ibn-utsaimin-tentang-satu-sholat-dengan-beberapa-niat/

Selasa, 27 Januari 2015

Tinggalkan Sikap Tasabuh

Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullaah.
PERTANYAAN: Bagaimana hukumnya orang yang mencintai seorang alim atau dai, dengan mengatakan: Sesungguhnya saya sangat mencintai beliau, oleh karena itu saya tidak suka mendengar bantahan yang ditujukan kepadanya dari siapapun, dan saya ambil ucapan-ucapannya sekalipun menyelisihi dalil, karena syaikh (orang alim) ini lebih tahu tentang dalil daripada saya?
JAWABAN:
Ini adalah ta’ashshub yang sangat dibenci dan tercela, maka hal semacam ini tidak boleh.
✳ Alhamdulillah, kami mencintai para ulama dan para dai di jalan Allah ta’ala, akan tetapi apabila salah seorang diantara mereka melakukan kesalahan dalam suatu perkara, maka tentunya kami menjelaskan kebenaran dalam perkara tersebut dengan dalil, tanpa mengurangi kecintaan dan kedudukannya.
al-Imam Malik pernah berkata : “Seuruh ucapan bisa diambil dan ditolak kecuali pemilik kubur ini (yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam).
Apabila kami membantah sebagian ahlul ilmi (Ulama) dan sebagian orang yang memiliki keutamaan bukan berarti kami membenci dan merendahkannya, akan tetapi kami hanyalah menjelaskan kebenaran semata.
✔ Oleh karena itu sebagian ulama ketika (mereka membantah) teman-temannya yang memiliki kesalahan, mengatakan, “Fulan adalah kekasih kami, akan tetapi kebenaran (al-haq) lebih aku cintai daripadanya. Inilah cara yang benar.
Maka janganlah kalian pahami bahwa membantah kesalahan-kesalahan beberapa ulama itu artinya membenci atau merendahkannya. Bahkan para ulama terus menerus sebagian mereka membantah sebagian yang lain, akan tetapi mereka tetap bersaudara dan saling mencintai.
Kita tidak boleh mengambil seluruh perkataan seseorang dengan membabi buta, baik yang benar ataupun yang salah, karena ini merupakan sikap fanatik (ta’ashshub) yang amat dibenci.
☑ Orang yang boleh diambil seluruh perkataannya dan tidak boleh ditinggalkan sedikitpun adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, karena beliau adalah orang yang menyampaikan dari Rabb-Nya, beliau tidak berbicara dengan hawa nafsunya. Adapun selain beliau, maka terkadang bisa salah dan benar, sekalipun mereka itu orang-orang yang paling utama, para mujtahid (ahli ijtihad); mereka itu semuanya bisa salah dan bisa benar, tidak ada seorang pun yang bebas dari kesalahan selain Rasulullaah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺍﻟﻨﺼﻴﺤﺔ. ﻗﻠﻨﺎ:ﻟﻤﻦ؟ ﻗﺎﻝ ﻟﻠﻪ، ﻭﻟﻜﺘﺎﺑﻪ، ﻭﻟﺮﺳﻮﻟﻪ، ﻭﻷﺋﻤﺔﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ، ﻭﻋﺎﻣﺘﻬﻢ
“Agama itu nasehat” kami (para shahabat) bertanya; “Untuk siapa nasehat itu?” Beliau menjawab, “Untuk Allah, Kitab Nya, Rasul- Nya, serta para imam kaum muslimin dan juga untuk kaum muslimin secara umum”.
Menjelaskan kesalahan itu adalah bagian dari nasehat bagi umat seluruhnya. Adapun menyembunyikannya adalah menyelisihi prinsip nasehat.
Sumber: al-Ajwibah al-Mufidah ‘an As-ilah al-Manahij al-Jadidah, soal no. 60, hlm. 120-121.
Alih Bahasa: Abu Utbah Miqdad hafizhahullaah.
WA Forum Riyadhul Jannah Wonogiri.

http://salafy.or.id/blog/2015/01/29/tinggalkan-sikap-taashshub-walaupun-kepada-guru-yang-kamu-cintai/