Kamis, 29 Januari 2015

SATU SHOLAT DENGAN BEBERAPA NIAT

diterjemahkan oleh :Al Ustadz Abu Utsman Kharisman
Pertanyaan: Fadhilatusy Syaikh (Ibn Utsaimin) ditanya:
Apakah boleh meniatkan lebih dari 1 ibadah pada satu ibadah. Contoh, jika seorang masuk masjid ketika adzan Dzhuhur ia sholat dua rokaat diniatkan tahiyyatul masjid, sunnah wudhu, sunnah rotibah Dzhuhur, apakah sah yang demikian?
Jawaban : Syaikh Ibn Utsaimin menjawab: Ini adalah kaidah yang penting. Yaitu: tatadaakhal al-Ibadaat (apakah suatu ibadah bisa saling masuk pada ibadah-ibadah lain). Maka kami katakan: (Pertama): Jika suatu ibadah mengikuti ibadah yang lain, maka keduanya tidak bisa saling masuk.
Ini adalah kaidah. Contoh: Sholat fajar (sholat fardlu Subuh) dua rokaat. Sunnahnya dua rokaat (sebelumnya). Ini adalah sunnah yang tersendiri. Akan tetapi ia mengikuti. Yaitu, rotibah (sunnah sebelum) Fajar sebagai penyempurna baginya. Maka tidaklah bisa sholat sunnah berkedudukan sebagai sholat Fajar (sholat Subuh wajib). Tidak pula bisa sholat Subuh berkedudukan sebagai sholat sunnah.
Karena sholat sunnah rotibah itu mengikuti sholat wajib. Jika suatu ibadah mengikuti ibadah yang lain, maka ia tidak bisa berkedudukan sebagai ibadah itu. Tidak bisa mengambil kedudukannya, baik yang mengikuti maupun yang menjadi asal. Contoh lain, Jumat memiliki sholat rotibah (sunnah) setelahnya.
Apakah seseorang mencukupkan diri untuk melakukan sholat Jumat saja hingga merasa tidak perlu sholat rotibah setelahnya?
Jawabannya adalah: Tidak. Kenapa? Karena sholat sunnah Jumat mengikuti (sholat wajib Jumat). Kedua, jika dua ibadah berdiri sendiri, tiap ibadah terpisah dari yang lain, dan ibadah itu memang dimaksudkan secara dzatnya, maka dua ibadah ini tidak bisa saling masuk.
Contoh: Jika ada yang berkata: Saya akan sholat dua rokaat sebelum Dzhuhur dengan niat 4 rokaat, karena sholat rotibah Dzhuhur sebelum sholat Dzhuhur adalah 4 rokaat dengan dua salam. Jika dia mengatakan: Saya akan sholat dua rokaat dengan niat 4 rokaat, ini tidak boleh. Karena dua ibadah ini terpisah dan berdiri sendiri. Masing-masing tidak bisa mencukupi yang lain.
Contoh lain: setelah Isya adalah sholat sunnah rotibah. Dan setelah sholat sunnah rotibah Isya ada witir. Witir boleh sholat tiga rokaat dengan dua salam. Maka ia sholat dua rokaat kemudian sholat witir. Kalau seandainya ia berkata: Saya ingin menjadikan sholat sunnah rotibah Isya untuk sholat yang genap, witir, dan rotibah Isya (digabung, pent) ? Ini tidak boleh. Ketiga, jika salah satu dari dua ibadah tidaklah dimaksudkan secara dzatnya, sedangkan maksudnya adalah mengerjakan macam ibadahnya, maka yang demikian salah satunya bisa mencukupi dari yang lain. Akan tetapi (ibadah) yang asal yang mencukupi dari cabangnya.
Contoh: Seseorang masuk masjid sebelum sholat Fajar (Subuh) dan setelah adzan. Dalam hal ini ia dituntut mengerjakan dua hal: tahiyyatul masjid (dan sholat sunnah sebelum Subuh, pent). Tahiyyatul masjid tidaklah dimaksudkan secara dzatnya. Yang dimaksudkan hanyalah agar jangan duduk hingga sholat dua rokaat. Jika engkau sholat sunnah rotibah (sebelum) Subuh, tepat engkau telah melaksanakan keadaan tidak duduk hingga sholat dua rokaat. Maka tercapailah maksud. Tapi jika engkau meniatkan cabangnya, yaitu tahiyyatul masjid bukan rotibahnya, maka ini tidak mencukupi dari rotibah sebelum Subuh. Karena rotibah Subuh itu dimaksudkan secara dzatnya, dan tahiyyatul masjid tidaklah dimaksudkan secara dzatnya.
Sedangkan pertanyaan dari penanya: Jika seorang masuk masjid saat adzan Dzhuhur dia sholat dua rokaat meniatkan tahiyyatul masjid, sunnah wudhu, dan sunnah rotibah dzhuhur? Jika dia meniatkan tahiyyatul masjid dan rotibah, ini mencukupi. Sedangkan sunnah wudhu kita lihat, apakah sabda Rasulullah shollallahu alaihi wasallam :
“Barangsiapa yang berwudhu seperti wudhu’ku ini kemudian sholat dua rokaat tidak muncul was-was dan bisikan dunia pada dirinya, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu”.
Apakah maksud Nabi shollallahu alaihi wasallam bahwa bisa didapati dua rokaat setelah wudhu, atau maksud beliau jika engkau berwudhu sholatlah dua rokaat. Kita lihat. Jika maksudnya adalah: jika engkau berwudhu maka sholatlah dua rokaat, maka dua rokaat ini dimaksudkan (secara dzatnya). Jika maksudnya adalah barangsiapa yang sholat dua rokaat setelah berwudhu dengan sifat apa saja, asalkan dua rokaat, maka dua rokaat sholat ini akan mencukupi dari sholat sunnah wudhu, tahiyyatul masjid, dan rotibah Dzhuhur.
Yang nampak pada saya, dan ilmunya di sisi Allah, bahwa sabda Rasulullah shollalahu alaihi wasallam “ kemudian sholat dua rokaat” tidaklah memaksudkan dua rokaat secara dzatnya. Beliau hanya memaksudkan bisa dilakukan dua rokaat meski itu adalah sholat wajib. Berdasarkan itu, kita katakan pada contoh yang disebutkan penanya: sesungguhnya dua rokaat tersebut mencukupi dari tahiyyatul masjid, rotibah Dzhuhur, dan sunnah wudhu’.
Contoh lainnya: Seseorang yang mandi janabah para hari Jumat, apakah mencukupi dari mandi Jumat? Jika ia berniat dengan mandi janabahnya itu mandi Jumat, maka ini akan tercapai. Berdasarkan sabda Rasulullah shollallahu alaihi wasallam: Sesungguhnya segala sesuatu tergantung apa yang dianiatkan. Akan tetapi jika ia berniat mandi janabah, apakah itu telah mencukupi dari mandi Jumat? Kita lihat: apakah mandi Jumat dimaksudkan secara dzatnya atau maksudnya adalah agar manusia bersuci di hari itu? Maksudnya adalah bersuci. Sesuai dengan sabda Rasulullah shollallahu alaihi wasallam:
“kalau seandainya kalian bersuci pada hari kalian ini”.
Karena itu, maksud mandi ini adalah agar manusia bersih pada hari Jumat. Ini bisa tercapai dengan mandi janabah. Berdasarkan hal ini, jika seseorang mandi janabah pada hari Jumat, maka itu mencukupinya dari mandi Jumat. Meskipun ia tidak berniat. Jika ia berniat, perkaranya jelas. Maka kita sekarang memiliki 3 kaidah (Majmu’ Fataawa Ibn Utsaimin (14/205)).

http://salafy.or.id/blog/2015/01/24/fatwa-syaikh-ibn-utsaimin-tentang-satu-sholat-dengan-beberapa-niat/

Selasa, 27 Januari 2015

Tinggalkan Sikap Tasabuh

Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullaah.
PERTANYAAN: Bagaimana hukumnya orang yang mencintai seorang alim atau dai, dengan mengatakan: Sesungguhnya saya sangat mencintai beliau, oleh karena itu saya tidak suka mendengar bantahan yang ditujukan kepadanya dari siapapun, dan saya ambil ucapan-ucapannya sekalipun menyelisihi dalil, karena syaikh (orang alim) ini lebih tahu tentang dalil daripada saya?
JAWABAN:
Ini adalah ta’ashshub yang sangat dibenci dan tercela, maka hal semacam ini tidak boleh.
✳ Alhamdulillah, kami mencintai para ulama dan para dai di jalan Allah ta’ala, akan tetapi apabila salah seorang diantara mereka melakukan kesalahan dalam suatu perkara, maka tentunya kami menjelaskan kebenaran dalam perkara tersebut dengan dalil, tanpa mengurangi kecintaan dan kedudukannya.
al-Imam Malik pernah berkata : “Seuruh ucapan bisa diambil dan ditolak kecuali pemilik kubur ini (yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam).
Apabila kami membantah sebagian ahlul ilmi (Ulama) dan sebagian orang yang memiliki keutamaan bukan berarti kami membenci dan merendahkannya, akan tetapi kami hanyalah menjelaskan kebenaran semata.
✔ Oleh karena itu sebagian ulama ketika (mereka membantah) teman-temannya yang memiliki kesalahan, mengatakan, “Fulan adalah kekasih kami, akan tetapi kebenaran (al-haq) lebih aku cintai daripadanya. Inilah cara yang benar.
Maka janganlah kalian pahami bahwa membantah kesalahan-kesalahan beberapa ulama itu artinya membenci atau merendahkannya. Bahkan para ulama terus menerus sebagian mereka membantah sebagian yang lain, akan tetapi mereka tetap bersaudara dan saling mencintai.
Kita tidak boleh mengambil seluruh perkataan seseorang dengan membabi buta, baik yang benar ataupun yang salah, karena ini merupakan sikap fanatik (ta’ashshub) yang amat dibenci.
☑ Orang yang boleh diambil seluruh perkataannya dan tidak boleh ditinggalkan sedikitpun adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, karena beliau adalah orang yang menyampaikan dari Rabb-Nya, beliau tidak berbicara dengan hawa nafsunya. Adapun selain beliau, maka terkadang bisa salah dan benar, sekalipun mereka itu orang-orang yang paling utama, para mujtahid (ahli ijtihad); mereka itu semuanya bisa salah dan bisa benar, tidak ada seorang pun yang bebas dari kesalahan selain Rasulullaah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺍﻟﻨﺼﻴﺤﺔ. ﻗﻠﻨﺎ:ﻟﻤﻦ؟ ﻗﺎﻝ ﻟﻠﻪ، ﻭﻟﻜﺘﺎﺑﻪ، ﻭﻟﺮﺳﻮﻟﻪ، ﻭﻷﺋﻤﺔﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ، ﻭﻋﺎﻣﺘﻬﻢ
“Agama itu nasehat” kami (para shahabat) bertanya; “Untuk siapa nasehat itu?” Beliau menjawab, “Untuk Allah, Kitab Nya, Rasul- Nya, serta para imam kaum muslimin dan juga untuk kaum muslimin secara umum”.
Menjelaskan kesalahan itu adalah bagian dari nasehat bagi umat seluruhnya. Adapun menyembunyikannya adalah menyelisihi prinsip nasehat.
Sumber: al-Ajwibah al-Mufidah ‘an As-ilah al-Manahij al-Jadidah, soal no. 60, hlm. 120-121.
Alih Bahasa: Abu Utbah Miqdad hafizhahullaah.
WA Forum Riyadhul Jannah Wonogiri.

http://salafy.or.id/blog/2015/01/29/tinggalkan-sikap-taashshub-walaupun-kepada-guru-yang-kamu-cintai/